Senin, 13 Januari 2014

perubahan iklim dan gambut. berkaitankah??

gambut dan perubahan iklim 


GUNUNG MELETUS, GAMBUT DAN PERUBAHAN IKLIM



            Iklim adalah rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, meliputi perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik secara lokal, regional maupun global. Perubahan iklim adalah suatu fenomena global yang ditandai dengan perubahan suhu udara dan distribusi hujan melalui proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan secara berangsur-angsur. Penyebab perubahan iklim dapat ditinjau dari dua faktor yaitu faktor alam dan faktor kegiatan manusia.
Faktor alam yang dapat mempengaruhi perubahan iklim salah satunya adalah aktivitas vulkanik gunug berapi. Aktivitas vulkanik yaitu aktivitas magma di dalam perut bumi yang akan menyebabkan letusan jika didorong keluar oleh gas bertekanan tinggi di dalam perut bumi. Letusan gunung ini menyemburkan abu dan batu yang efeknya mencapai radius 18 km sedangkan  lava yang dikeluarkan bisa membanjiri daerah sejauh 90 km. Berdasarkan penelitian para ahli dari satelit riset atmosfer  NASA(UARS), walaupun aktivitas vulkanik hanya berlangsung beberapa hari, sisa material seperti gas dan abu mengendap bertahun-tahun di lapisan atmosfer dan berdampak pada perubahan iklim di bumi. Gas gas vulkanik yang dihasilkan dari letusan gunung merapi diantaranya seperti gas karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida. Lebih dari 90% dari semua gas yang dipancarkan oleh gunung berapi adalah uap air yang berasal dari air tanah yang dipanaskan. Selain itu, gas lain seperti  gas sulfur dioksida yang dapat berubah menjadi aerosol sulfat yang merupakan cairan mikroskopik yang mengandung 75% asam sulfat. Pasca letusan partikel aerosol itu mengendap selama 3 atau 4 tahun. Partikel-pertikel ini dapat menghalangi radiasi matahari masuk ke permukaan bumi sehingga menyebabkan suhu di daerah tersebut menurun. Berdasarkan penelitian lebih lanjut dinyatakan bahwa aerosol sulfat juga menjadi katalis dalam penipisan lapisan ozon yang menyebabkan paparan sinar matahari langsung mengenai bumi dan dapat menaikkan suhu permukaan bumi di wilayah tertentu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh TMGerlach (1991) American Geophysical Union, menyebutkan bahwa faktor yang paling memengaruhi perubahan iklim bukan faktor alam melainkan aktivitas manusia. Aktivitas manusia seperti penggunaan energi fosil, pembakaran hutan dan lahan dapat menghasilkan karbon dioksida, kegiatan pertanian dan industri dapat menghasilkan gas nitrogen dioksida dan aktivitas industri dan konsumen dapat menghasilkan gas CFC, HFC, dan PFC. Semua gas yang dihasilkan dari aktivitas tersebut merupakan gas rumah kaca yang sangat efektif dapat menyebabkan efek rumah kaca yang berakibat pada pemanasan global. Pemanasan global adalah peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan lapisan atmosfer bawah (troposfer) dari waktu ke waktu akibat efek rumah kaca. Proses terjadinya efek rumah kaca adalah sinar matahari memanaskan laut dan daratan. Permukaan bumi memanas, kemudian meradiasikan panas dalam bentuk sinar inframerah ke ruang angkasa. Sebagian sinar inframerah tersebut diserap oleh gas-gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer, seperti uap air dan CO2. Dengan demikian panas terperangkap dan tidak dapat lepas ke ruang angkasa, sehingga suhu permukaan bumi meningkat dan menyebabkan perubahan iklim.
Salah satu cara agar gas karbondioksida yang terkandung di atmosfer tidak berlebihan adalah mengadakan kegiatan konservasi hutan pada ekosistem hutan gambut. Secara global, Lahan gambut dunia dengan luas 40 juta ha memiliki potensi untuk menyimpan cadangan karbon sebesar 550Gt atau 35% dari total karbon terestrial. Lahan gambut Indonesia adalah kawasan hutan kering dataran rendah yang dekat dengan kawasan pesisir. Di bawah tanah hutan ini tersimpan jutaan ton karbon akibat akumulasi pembusukan vegetasi selama ribuan tahun. Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai terganggu akibat adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya juga akan terganggu bahkan bisa menjadi sumber emisi karbon. Pada musim kemarau, lahan gambut akan  menjadi sangat kering sampai kedalaman tertentu sehingga akan mudah terbakar. Hal ini juga disebabkan karena gambut mengandung bahan bakar yaitu sisa tumbuhan sampai di bawah permukaan tanah, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan sulit dideteksi dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama dan baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.
Lahan gambut memang terdiri dari timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi secara sempurna, sehingga mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Apalagi jika lahan gambut ini dijadikan sebagai ekosistem hutan rawa dengan beberapa jenis tanaman yang dikembangkan, maka ekosistem ini akan mengikat karbondioksida dari atmosfer lebih banyak melalui proses fotosintesis yang pada akhirnya dapat mengurangi kadar karbon di atmosfer sehingga dapat mengurangi terjadinya peningkatan suhu di permukaan bumi. Selain itu, gambut juga merupakan lahan basah yang memiliki fungsi hidrologis yang penting karena secara alami mampu menyimpan cadangan air dengan kapasitas yang besar. Hutan gambut akan menjadi sumber daya yang penting sehingga perlu dikonservasi dan dimanfaatkan secara bijaksana.





Kelompok 5
Ika Pratiwi P                  113184009
Wahyu Aprilyanti          113184033
Maharani Purwanto P    113184050
Fikri Habibi                   113184218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar