gambut dan perubahan iklim
GUNUNG
MELETUS, GAMBUT DAN PERUBAHAN IKLIM
Iklim adalah rata-rata peristiwa
cuaca di suatu daerah tertentu, meliputi perubahan ekstrem musiman dan
variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik secara lokal, regional maupun
global. Perubahan
iklim adalah suatu fenomena global yang ditandai dengan perubahan suhu udara
dan distribusi hujan melalui proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang
panjang dan secara berangsur-angsur. Penyebab perubahan iklim dapat ditinjau
dari dua faktor yaitu faktor alam dan faktor kegiatan manusia.
Faktor
alam yang dapat mempengaruhi perubahan iklim salah satunya adalah aktivitas
vulkanik gunug berapi. Aktivitas vulkanik yaitu aktivitas magma di dalam perut
bumi yang akan menyebabkan letusan jika didorong keluar oleh gas bertekanan
tinggi di dalam perut bumi. Letusan gunung ini menyemburkan abu dan batu yang
efeknya mencapai radius 18 km sedangkan
lava yang dikeluarkan bisa membanjiri daerah sejauh 90 km. Berdasarkan
penelitian para ahli dari satelit riset atmosfer NASA(UARS), walaupun aktivitas
vulkanik hanya berlangsung beberapa hari, sisa material seperti gas dan abu mengendap bertahun-tahun di
lapisan atmosfer dan berdampak pada perubahan iklim di bumi. Gas gas
vulkanik yang dihasilkan dari letusan gunung merapi diantaranya seperti gas
karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan
nitrogen dioksida. Lebih dari 90% dari semua gas yang dipancarkan oleh gunung
berapi adalah uap air yang berasal dari air tanah yang dipanaskan. Selain itu,
gas lain seperti gas sulfur dioksida
yang dapat berubah menjadi aerosol sulfat yang merupakan cairan mikroskopik
yang mengandung 75% asam sulfat. Pasca letusan partikel aerosol itu mengendap
selama 3 atau 4 tahun. Partikel-pertikel ini dapat menghalangi radiasi matahari
masuk ke permukaan bumi sehingga menyebabkan suhu di daerah tersebut menurun.
Berdasarkan penelitian lebih lanjut dinyatakan bahwa aerosol sulfat juga
menjadi katalis dalam penipisan lapisan ozon yang menyebabkan paparan sinar
matahari langsung mengenai bumi dan dapat menaikkan suhu permukaan bumi di
wilayah tertentu.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh TMGerlach (1991) American Geophysical Union,
menyebutkan bahwa faktor yang paling memengaruhi perubahan iklim bukan faktor
alam melainkan aktivitas manusia. Aktivitas manusia seperti penggunaan energi
fosil, pembakaran hutan dan lahan dapat menghasilkan karbon dioksida, kegiatan
pertanian dan industri dapat menghasilkan gas nitrogen dioksida dan aktivitas
industri dan konsumen dapat menghasilkan gas CFC, HFC, dan PFC. Semua gas yang
dihasilkan dari aktivitas tersebut merupakan gas rumah kaca yang sangat efektif
dapat menyebabkan efek rumah kaca yang berakibat pada pemanasan global.
Pemanasan global adalah peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan lapisan
atmosfer bawah (troposfer) dari waktu ke waktu akibat efek rumah kaca. Proses
terjadinya efek rumah kaca adalah sinar matahari memanaskan laut dan daratan.
Permukaan bumi memanas, kemudian meradiasikan panas dalam bentuk sinar
inframerah ke ruang angkasa. Sebagian sinar inframerah tersebut diserap oleh
gas-gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer, seperti uap air dan CO2.
Dengan demikian panas terperangkap dan tidak dapat lepas ke ruang angkasa, sehingga suhu permukaan bumi meningkat dan menyebabkan perubahan iklim.
Salah
satu cara agar gas
karbondioksida yang terkandung di atmosfer tidak berlebihan adalah mengadakan
kegiatan konservasi hutan pada ekosistem
hutan gambut. Secara
global, Lahan gambut dunia dengan luas 40 juta ha memiliki potensi untuk
menyimpan cadangan karbon sebesar 550Gt atau 35% dari total karbon terestrial.
Lahan gambut Indonesia adalah kawasan hutan kering dataran rendah yang dekat
dengan kawasan pesisir. Di bawah tanah hutan ini tersimpan jutaan ton karbon
akibat akumulasi pembusukan vegetasi selama ribuan tahun. Pada kondisi alami,
lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya menyerupai spons, yakni
menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim
kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan
gambut tersebut sudah mulai terganggu akibat adanya konversi lahan atau
pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya juga akan terganggu bahkan bisa
menjadi sumber emisi karbon. Pada musim kemarau, lahan gambut akan menjadi sangat kering sampai kedalaman
tertentu sehingga akan mudah terbakar. Hal ini juga disebabkan karena gambut
mengandung bahan bakar yaitu sisa tumbuhan sampai di bawah permukaan tanah,
sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat
dan sulit dideteksi dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit
dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama dan baru bisa mati total setelah
adanya hujan yang intensif.
Lahan
gambut memang terdiri dari timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi
secara sempurna, sehingga mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar.
Apalagi jika lahan gambut ini dijadikan sebagai ekosistem hutan rawa dengan
beberapa jenis tanaman yang dikembangkan, maka ekosistem ini akan mengikat
karbondioksida dari atmosfer lebih banyak melalui proses fotosintesis yang pada
akhirnya dapat mengurangi kadar karbon di atmosfer sehingga dapat mengurangi
terjadinya peningkatan suhu di permukaan bumi. Selain itu, gambut juga
merupakan lahan basah yang memiliki fungsi hidrologis yang penting karena
secara alami mampu menyimpan cadangan air dengan kapasitas yang besar. Hutan
gambut akan menjadi sumber daya yang penting sehingga perlu dikonservasi dan
dimanfaatkan secara bijaksana.
Kelompok 5
Ika Pratiwi P 113184009
Wahyu Aprilyanti 113184033
Maharani Purwanto P 113184050
Fikri Habibi 113184218